Desah angin kembali menemani sepi. Teras rumah menjadi saksi bisu percakapanku dengan Tuhan. Nuansa kesunyian menyelimuti kembali, begitu setia hadir setiap renungan. Belajar merangkak perihal perasaan, masih seperti anak kecil yang butuh bimbingan untuk ini. Aku belum sanggup mengusaikan cerita tentang ini, karena hati yang begitu egois untuk bertahan. Ini sebuah tamparan keras bagi benalu yang hanya mengganggu.
Tak ada yang lebih bijak kecuali petunjuk yang Tuhan berikan. Kedipan manis dari Tuhan begitu mengisyaratkan bahwa aku harus lebih kuat soal perasaan. Aku teroyak oleh waktu yang mengalir dalam diam. Kembali memusatkan titik fokus untuk kehidupan tidak mudah. Semua butuh proses. Pembelajaran hidup tentang menyinari hari sendiri.
Begitu egois tak mampu menyamakan rasa cinta pada diri sendiri dan rasa cinta pada sosok ciptaan-Nya. Begitulah pengorbanan hati. Hal yang sering kali aku renungkan dalam diam. Rasa yang masih tertahan belum bisa beranjak pergi. Maaf.
Merahasiakan cinta yang selayaknya bahagia begitu menyiksa. Memenjarakan hati dalam kebingungan. Membiarkan terbelenggu dalam ketidakpastian. Mengalir begitu saja. Menghadirkan argumen kenapa dan mengapa aku masih tetap tinggal, selalu aku terka.
Rasa getir dari malam kali ini begitu terasa. Rasa dingin seperti es kembali hadir. Membuat tubuh beku tak bergerak. Membuat mulut beku tak berkata. Hanya mata yang berkaca-kaca begitu jelas berbinar terkena cahaya. Jika aku disuruh memilih aku tidak ingin membeku, terdiam tanpa gerak bebas begitu menyiksa.
Begitu halnya dengan 'hati'?
Berpikir ribuan kali untuk membekukan hati. Membutuhkan lebih dari mentari untuk mencairkannya. Yap, kamu sangat pandai dalam menerka. Itu alasan kenapa aku takut beku. Aku hanya khuatir pada hati yang semakin lama semakin tidak sensitif tentang perasaan. Kamu pasti tau, karena kamu pernah mengalaminya.
Aku mentari untuk kehidupanku
Sudah sejak lama aku menjadi mentari terhitung juga beberapa bulan yang lalu aku telah menjadi mentari untuk diriku sendiri. Kalau tidak begini mungkin sudah sejak dulu membeku. Kini kristal es itu datang lagi. Aku harap mentari ini dapat mengikis kristal itu agar tidak menebal menjadi es. Karena aku takut akan hal itu.
Aku cukup mengerti dengan kata yang kamu tekankan setiap berbicara perasaan denganku. Aku cukup paham. Aku merajut kata ini hanya sekedar kata yang tertuang dari hati yang rapuh. Maaf jika kata yang terajut ini membebani pikiranmu. Aku tidak bermaksud seperti itu. Semoga aku tidak menjadi benalu yang selalu mengganggu setiap langkah kakimu.
Aku tidak ingin menjadi tualang yang pergi tanpa tujuan. Lalu lalang tanpa kepastian. Aku masih bisa memeluk tubuhku sendiri, aku masih bisa untuk mengikis kristal es ini sendiri. Tenanglah aku lebih kuat dari yang kamu bayangkan.
Suatu saat aku akan mengusaikan cerita aku dan kamu. Biarkan takdir dari-Nya mengindahkannya. Biarkan tulisan ini mengabadikanmu. Maaf, jika aku telah menjadi benalu untuk hidupmu.
Ratna dyah dwi islamiati | 12-05-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar